Pro Kontra Ujian Nasional dan Tiga Model Evaluasi

sumber dok. /rencanamu.id
Belajar merupakan proses perubahan perilaku seseorang dari tidak tahu menjadi tahu. Artinya bahwa pembelajaran memberikan pembekalan, baik itu berupa hardskill maupun softskill kepada mereka yang belajar. Hal ini diperjelas lagi oleh pendapat Winkel (2009) bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan yang relatif konstan dan berbekas.

Dalam proses belajar tentu harus dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana dampak dari internalisasi ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitar dan lingkungan sekolah. Tahap ini yang kita kenal dengan ujian sekolah yang selama ini mengalami dinamisasi perubahan pola evaluasi, namun terakhir ini yang ditetapkan oleh pemerintah adalah pola Ujian Nasional (UN) baik menggunakan UNBK atau tertulis. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 66 bentuk penilaian yang dilakukkan pemerintah tersebut dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional dengan lebih menekankan pada tiga mata pelajaran yaitu, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Hal inilah yang sampai saat ini masih diterapakan oleh pemerintah untuk memberikan nilai mutu pendidikan nasional.

Namun melihat perkembangan pola sistem evaluasi UN yang saling tarik menarik kebijakan antara pro dan kontra hingga jadi kontroversial di kalangan pakar pendidikan. Karena masing dianggap tidak logis bila penerapan UN ini memberikan dampak positif bagi kemajuan pendidikan Negeri. Logika sederhana bagaimana bisa menyeragamkan output (lulusan) di seluruh Indonesia kalau input dan proses pendidikan di seluruh wilayah tanah air ini belum seragam.

Diantara pakar pendidikan yang tegas menolak UN dengan beberapa alasan seperti Husnawati (2004), yang melontarkan pandangan negatif terhadap penyelenggarakan UN tahun 2003/2004, bahwa siswa yang belajar seperti mesin dalam rangka pencapaian target yang ditentukan saja, sementara itu kemampuan yang lain terabaikan. Selain itu, penentuan passing grade dapat merupakan stressor yang berpotensi menghantui siswa. Juga, dikatakannya bahwa soal-soal UN berpeluang menghambat perkembangan multiple intelligence siswa. Selanjutnya, Santoso (2004) juga melontarkan pesimismenya sebagai berikut. Butir-butir soal UN hanya berdimensi akademis pedagogis saja dan tidak berorientasi membebaskan siswa dari ketidakpekaan terhadap lingkungannya.

Dalam Penelitian Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran yang dilakukan di Universitas Negeri Yogyakarta dan 20 SMP di Yogyakarta tahun 2009, Djemari menjelaskan dampak positif UN terhadap siswa adalah menambah jam belajar hingga 10 jam/minggu dengan cara mengikuti les di sekolah. Sebanyak 81% siswa dari sekolah kategori tinggi dan 65% siswa dari sekolah kategori rendah yang menambah jam belajarnya. Namun dari pendidik juga mengatakan perlu menyelenggarakan UN dan termotivasi mengajar lebih baik. Sebanyak 89,5% guru SMP kategori tinggi dan seluruh guru (100%) di SMP kategori rendah.

Djemari juga menjelaskan bahwa dampak UN terhadap orang siswa adalah bahwa dengan adanya UN 58,7% orang tua siswa semakin peduli terhadap anak mereka, wujud kepeduliannya adalah perhatian ketika anak-anaknya belajar, yaitu menemani dan memberi semangat dalam belajar. Usaha lain yakni membelikan buku-buku (50%) serta menambah jam belajar anak (les) 60%. Dampak positif ini yang terus kita dorong untuk menetapkan UN sebagai salah satu sistem untuk mengukur dan mengevaluasi sejauh mana perkembangan peserta didik.

Namun ada benarnya juga, pihak yang kontra menganggap bahwa UN yang dijadikan sebagai syarat kelulusan. Hal ini akan menjadi sebuah tekanan yang akhirnya menanggung beban yang harus dilakukan bukan hanya peserta didik saja melainkan guru, orang tua siswa dan bahkan pemerintah daerah. Karena pemerintah daerah selain menjadikan objek sebagai mendongkrak wilayah dengan nilai UN tertinnggi juga berpotensi melakukan tindakan ketidakwajaran, dengan ambisi tersebut secara tidak langsung telah mengganggu perkembangan psikologis para pendidik, peserta didik, dan juga orangtua. Bahkan Sekolah sudah menjadi tempat yang menakutkan dan penuh tekanan.

Padahal belajar akan maksimal jika dalam kondisi yang nyaman dan menyenangkan. Ujian Nasional sebagai momok bisa dihilangkan dengan cara merubah konsep penyelenggaraan UN, yakni dengan menghilangkan syarat kelulusan yang diambil dari hasil UN. Hasil UN hanya dijadikan pemetaan kualitas pendidikan saja, bukan untuk menjadi syarat kelulusan.

Terlepas dari pro dan kontra, kesimpulan dari tulisan ini ingin menegaskan bahwa UN tetap harus diselenggarakan sebagai sebuah ukuran evaluasi kualitas pendidkan itu sendiri. Bagaimana sebuah pendidikan dapat diketahui kualtasnya tanpa diuji dan dievaluasi, seperti halnya seorang belajar merakit motor sendiri namun ketika teori sudah didapat dan tidak diuji atau dipraktekkan maka percuma dia terobsesi menjadi automotif, Ujian Nasional adalah praktek, yakni mempraktekkan materi yang sudah dapat ke dalam bentuk tulisan.

Namun dalam pelaksanaan UN juga perlu dievaluasi, yakni mengevaluasi yang menjadi kekurangan atau hambatan selama penerapan UN  se Indonesia. Ada tiga tahap yang dapat dilakukan dalam evaluasi, yaitu tahap konsolidasi (consolidation stage), tahap pemantapan (establishment stage), dan tahap pengembangan (development stage). Ketiga tahap tersebut masing-masing perlu diproyeksikan secara akurat dalam kerangka acuan waktu sebagai jangka pendek, menengah, dan panjang.

Tahap konsolidasi adalah tahap pertama yang perlu dilakukan. Sesuai dengan namanya, tahap ini ditujukan untuk mengkaji ulang permasalahan-permasalahan yang ada terkait dengan otonomi pendidikan. Terutama masalah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pelayanan pendidikan minimal, baik ditinjau dari segi sarana, prasarana, maupun proses pendidikan. Pada tahap ini akan perlu diidentifikasi sekolah-sekolah yang telah maupun yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan secara memadai. Output tahap ini adalah daftar sekolah sesuai dengan klasifikasinya. Acuan formal dasar untuk mengklasifikasikan sekolah-sekolah adalah Bab IX Pasal 35 UU Rl No. 20. Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tahap selanjutnya adalah pemantapan sistem pengujian hasil belajar siswa. Setelah sekolah-sekolah dengan berbagai karakteristiknya teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah perlunya pemantapan sistem pengujian. Yang dimaksud dengan pemantapan sistem pengujian adalah penerapan sistem pengujian sesuai dengan karakteristik sekolah. Ini berarti bahwa sesuai dengan prinsip otonomi sekolah dalam wadah manajemen berbasis sekolah (MBS), penyelenggaraan pengukuran hasil belajar siswa untuk sekolah yang berbeda akan menerapkan sistem yang berbeda pula, tetapi masih dalam.

Tahap ketiga yang perlu dilakukan adalah tahap pengembangan. Tahap ini difokuskan pada kualitas penyelenggaraan dan pemberdayaan hasil pengujian. Asas yang digunakan untuk melaksanakan tahap pengembangan ini adalah selektif, komprehensif, dan fungsional. Pada tahap ini, tidak semua sekolah akan diukur hasil belajar siswanya. Sekolah-sekolah yang benar-benar memenuhi standar sesuai dengan yang diisyaratkan pada Bab IX Pasal 35 UU Rl No. 20. Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tentang Standar Pendidikan Nasional itulah yang akan diuji.

(tulisan ini merupakan tugas kampus di kajian ketahanan SKSG, UI) 
Fathurohman

Referensi

Husnawati, R. 2004. “Peningkatan Semu Mutu Pendidikan”. Jawa Pos, 6 Mei 2004.
Mardapi, Djemari dan Badrun, 2009, Dampak Ujian Nasional, Universitas Negeri Yogyakarta
Reigeluth, 1987. Instruksional Theories in Action, Hilsdale, New Jersey – Hove and London: Lawrence Erlbaum, Associates, Publisher
Santoso, 2004. UAN itu Perlu, tapi. Jawa Pos, 8 Mei 2004
Sulistyo, Gunadi H, 2006, Jurnal, Harapan, Tantangan, dan Peluang Ujian Nasional
Universitas Negeri Malang
Winkel, W. S. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi
Tag : Akademik, Artikel

Related Post:

0 Komentar untuk "Pro Kontra Ujian Nasional dan Tiga Model Evaluasi"

Back To Top