Idealisme dan realitas seringkali tak menampilkan wajah yang sama. Islam cita-cita mewangi dan mengandung nilai etis yang agung, sementara Islam sejarah—sebagai manifestasi realita sesungguhnya— terkadang membuat kita terdiam, tercengang, tak percaya. Islam yang memiliki adagium abadi sebagai agama “rahmatan lil ‘alamîn” cenderung digeret ke area kepentingan pribadi, golongan dan kelompok tertentu. Politisasi agama, kalau boleh kita sebut, menjadi lembaran hitam sejarah yang seharusnya diamati secara sadar sehingga tak memberi ruang bagi generasi Islam masa kini untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Islam sejarah hanya sebagian dari fakta sejarah yang tak mungkin diabaikan, ia serupa saksi bisu peristiwa-peristiwa penting yang—sengaja maupun tidak— dilupakan oleh sebagian historian muslim karena suatu alasan, dan dicatat secara detail oleh yang lainnya. Sosio-politik, kultur dan psikologi historian tatkala menulis perlu dijadikan pijakan untuk menelisik lebih jauh mengenai fakta yang disajikan. Situasi negara yang stabil tentunya tak sama dengan yang genting.
Sebagai sampel, konsep universalitas agama Islam seperti digadang-gadang oleh kalangan puritan, sebenaranya hanya sebuah pemahaman universal dalam “ruang pribadi” yang tak mengenal kata berbagi dengan the other (Barat).[1] Idealisme semacam ini perlu didialogkan dengan realitas kontemporer sehingga tak menjadikan umat Islam phobia terhadap modernitas. Maka di sini dibutuhkan kejelian supaya Islam cita-cita dan Islam sejarah bisa menemukan fungsinya secara nyata. “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin” meminjam bahasa Fazlur Rahman.[2]
Namun, rigidnya metodologi pendekatan Islam terhadap konstruk politik yang dikukuhi selama berabad, cukup membuat generasi masa kini merasa kesulitan untuk menemukan inter-relasi antara negara, undang-undang dan syariah.[3] Bahkan sistem syura’ yang disinggung secara langsung dalam Qur’an, juga terlihat kabur ketika kembali membuka lembar sejarah, yang lebih didominasi praktek monarki selama ribuan tahun. Kondisi ini tentu mempengaruhi paradigma para yuris (baca: pakar hukum) Islam, sehingga wajar kalau hampir semua pembahasan mereka tentang negara Islam akan dimulai dengan “syarat Imam yang sah” sementara kesejahteraan dan kemakmuran rakyat disubordinatkan.[4] Padahal memupuk paradigma semacam itu hanya akan menyuburkan sistem monarki-absolut ditubuh kaum muslimin. Sepertinya, kaum muslimin belum sepenuhnya sadar akan relasi pemimpin, rakyat, dan undang-undang negara, yang sama-sama memiliki peran urgen dalam membangun sebuah peradaban.
Akar Geneologis Islam Politik
Nalar Islam politik sebenarnya bisa diidentifikasi melalui beberapa buku sejarah, semisal Târikh Thabary. Di sana disebutkan beberapa ayat atau hadist yang dipahami oleh umat Islam awal sebagai pemantik naluri politik, contohnya QS: Annur, ayat 55 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. Ayat tersebut dan yang sejenis kemudian diinterpretasi oleh al-Thabarî (310H/922 M) sebagai janji Allah Swt. bagi kaum beriman tentang tanah taklukan Islam, dan kaum Muslimin akan menjadi penguasa di sana.
Selain itu, ada beberapa ungkapan yang dinisbatkan ke sahabat Nabi Saw. maupun tabi’in. Semisal ungkapan Umar bin Khattab “Keluarlah menuju bumi-bumi Allah yang dijanjikan. Allah akan memenangkan agamaNya, memulyakan penolong agamaNya”. Atau orasi Amir bin Syarahbil di depan Rustum sebelum perang Qâdisiyah “Allah sudah mewariskan tanah, harta dan anak-anak kalian buat kami”. Bahkan anomali masyhur Ustman Ra. yang pernah berucap “terkadang Allah menjadikan pedang lebih ampuh dari Qur’an”, diyakini oleh banyak peneliti sebagai pengaruh dari ungkapan Aradsyir bin Babik (228-241 M), yang berujar “agama dan negara (kerajaan) ibarat saudara kembar yang tak bisa dipisahkan, agama ibarat rumah dan negara penjaganya”.[5] Nalar Islam politik seperti tersirat dari ungkapan Ustman Ra. berbanding terbalik ketika disejajarkan dengan definisi politik versi mutakallimin yang menulis “politik adalah kebijakan manusiawi yang mengarah pada keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat”, kalimat “mengarah” dalam definisi ini sama sekali tak mengindikasikan makna kekerasan atau dalam bahasa Ustman “pedang”. Sebab ia hanya bersifat mengarahkan bukan memaksa.[6]
Umumnya, dalam mendeskripsikan nalar Islam politik, Qur’an akan memakai terma: al-Idzhâr (menampakkan/mengunggulkan), al-Tamkîn (memantapkan), al-Taurîst (mewariskan), dan al-Wa’ad (janji). Selain itu, ada hadis-hadis Nabi yang memang jika dibaca sepintas akan mengindikasikan nalar Islam politik, semisal “Allah menjadikan rizkiku di ujung tombakku” dan yang mirip dengan hadis tersebut.
Dari paradigma umum yang berkembang masa itu, kemudian mereka membangun nalar politik bahwa bangsa Arab akan menjadi pengganti risalah kenabian setelah sebelumnya didominasi bangsa Israel. Mereka mendeklarasikan diri sebagai pencerah bagi bangsa-bangsa sekitar, Persia dan Romawi.[7] Pemahaman sempit semacam itu, secara tak sadar akan mengenyampingkan ruh (spirit) Islam: sebagai dakwah yang bersifat agamis bukan politis. Tak hanya itu, Nabi yang diutus dengan wahyu dari Tuhan malah dihadirkan dalam ruang imajiner pembaca sebagai sosok penakluk layaknya kaisar Romawi atau Persia.[8]
Awal kemunculan nalar Islam politik tak bisa disebut sebagai nalar politik ideologis yang bertendensi agama. Pasalnya, meski kita sadari bahwa Rasul Saw. melakukan sejumlah langkah-langkah politis dan diplomatik tapi tak serta merta dipahami sebagai politik agamis. Ia semata upaya duniawi untuk terciptanya stabilitas kota Madinah. Lihat misalnya konvensi antara Muhajirîn (warga Muslim pendatang), Anshâr (warga pribumi) dan Yahudi di Madinah:”Ini perjanjian antara kaum muslimin Qureisy dan semua warga Yatsrib (Madinah)… mereka semua satu bangsa saling tolong menolong merapatkan barisan. Dan Yahudi Bani ‘Auf satu bangsa dengan kaum muslimin, masing-masing mengukuhi agamanya….” Dalam teks ini secara tegas mengumumkan sebuah konvensi yang disepakati atas dasar politik bukan agama. Karena di dalamnya Yahudi Madinah juga terlibat. Kalau konvensi tersebut dipahami sebagai politik agama yang diajarkan oleh Rasul, maka semestinya bangsa Yahudi tak boleh masuk dalam satu nation state (negara bangsa) dengan kaum muslimin karena mereka tak meyakini Muhammad Saw. sebagai Rasulullah.
Perjanjian ini kemudian dikenal dengan “piagam Madinah” yang diantaranya bertujuan: mengakomodasi seluruh elemen masyarakat yang majemuk dengan tetap memberi kebebasan setiap pemeluk agama melakukan ritual dan adatnya, membentuk peraturan yang dipatuhi bersama, mewujudkan perdamaian antar sesama, membangun kerja sama yang baik dan saling menguntungkan dalam ekonomi maupun keamanan. Di sini, ketaatan pada hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga Madinah tanpa terkecuali. Namun sekali lagi, ini bukan ketaatan ideologis tapi semata-mata “kontrak politik”. Orang banyak mengira bahwa piagam Madinah merupakan titik tolak berdirinya negara Islam, yang dalam kaca mata agama wajib dilanjutkan oleh pemeluknya. Asumsi semacam itu tidak tepat. Bahwa kemudian Rasulullah bertindak layaknya pemimpin negara modern memang benar tapi itu tak berarti beliau pemimpin negara Islam.[9]
Kalaupun kemudian ada ayat-ayat yang mengijinkan Rasul untuk berperang disertai jaminan akan menang. Tak berarti kemenangan itu sebagai “proyek Islam politik” yang harus dilanjutkan pasca wafatnya Nabi. Janji-janji kemenangan itu adalah jaminan tentang kelanggengan agama Allah, bukan politik agama. Terbukti, di beberapa perang yang dikomando Nabi sekalipun kerap mengalami kekalahan. Maka tak heran kalau Izzad Darwazah[10] sampai pada kesimpulan bahwa rata-rata ayat Qitâl (perang) turun paska perang;[11] ini mengidikasikan bahwa perang yang dilaksanakan Rasul bersifat ijtihadî (upaya-upaya Rasul untuk menciptakan stabilitas kota/negara) berasaskan pertimbangan maslahat umum dan agama sekaligus.
Di sini, penulis tak menafikan bila sebuah komunitas masyarakat yang madani tetap butuh pada pemimpin yang ditopang oleh sistem tertentu, namun Islam sebagai agama tak butuh untuk dilembagakan. Islam bisa tumbuh dan berkembang dengan dan tanpa adanya negara. Karena Islam memang agama yang sesuai dengan fitrah manusia, maka ia mudah diterima di mana dan kapanpun. Contoh paling kongkret Indonesia. Islam masuk ke Nusantara tanpa adanya lembaga apalagi negara, ia diperkenalkan oleh beberapa pedagang dan saudagar yang menyeberangi selat Malaka melalui jalur Sutera.[12]
Ragam Islam Politik
Nalar politik selalu berpijak pada sikap pragmatisme. Ideologi tertentu bisa saja dinegosiasi dengan adanya kepentingan dan maslahat yang disepakati. Selain itu, jika kita sepakat dengan teori nalar bawah sadar Freud, kita akan menjadi maklum ketika menemui penggal sejarah Islam yang ternyata tak se-ideal yang kita kenal ketika membaca doktrin-doktrin agama. Begitulah, Islam sejarah lebih dipengaruhi oleh pragmatisme dan kesadaran laten daripada doktrin keagamaan yang mengekang. Maka, jangan terkejut jika dalam lembar-lembar berikut, kita akan temukan sisi lain dari sekedar lembar putih nan suci sejarah.
Secara singkat saya ingin menyinggung bahwa nalar Islam politik, yang di masa Nabi dan khulafa al-rasyidûn bersifat ideologis (berjuang demi agama Allah)—baik itu fase Mekkah dan Madinah— mengalami perubahan paradigmatik pasca khalifah yang empat. Dinasti Umawiyah, yang dipandang oleh kalangan konservatif sebagai kelanjutan sistem khilafah, berbalik 160 derajat dengan membentuk dinasti yang rasial: catatan sejarah dinasti Umawiyah dihiasi oleh upaya-upaya defensif kekuasaan dari siapapun yang berusaha meruntuhkannya, terutama dari Bani Abbas. Sementara Abbasiyah yang berhasil merebut tahta setelahnya, kembali mempergunakan agama sebagai tumbal ideologi politik kekuasaannya.
Dinasti Umawiyah (662-750 M) berdiri dengan mengatasnamakan “kehendak Tuhan”, dari sini mereka mencoba meracuni rakyat (kaum Muslimin) dengan teologi jabariyah: bahwa jatuhnya khilafah ke tangan Bani Umayah adalah murni takdir Tuhan yang wajib dibaiat oleh segenap kaum Muslimin. Sementara Abbasiyah (750-1258 M) yang berhasil merebutnya kemudian berdalih sebagai kerabat terdekat nabi Saw., yang tentunya akan bisa mengemban amanat lebih dari yang lainnya. Sementara Saljukiyah dan Ustmaniyah yang kemudian menguat mengatakan mereka lebih berhak ditahbiskan sebagai khilafah resmi karena berjasa menjaga stabilitas teritorial negara-negara bagian Islam dari tentara Salibis dan Tar-tar.
- Nalar Tribalisme Arab
Setiap yang membaca sejarah bangsa Arab akan tahu bahwa mereka termasuk bangsa yang rasial. Peperangan antar kabilah menjadi menu wajib bagi pembaca sejarah bangsa ini. Tribalisme itulah yang kemudian berusaha dikikis oleh Islam, konflik sektarian antar kabilah menjadi berkurang berkat dakwah Nabi dan Qur’an. Meski demikian, nalar politik bawah sadar semacam itu tak sepenuhnya punah dari tradisi Arab pasca datangnya Islam.
Simak misalnya kisah al-Abbâs, paman Nabi, ketika membawa serta Abu Sufyân ke hadapan Nabi pada peristiwa penaklukkan kota Mekkah (8 H). Umar bin Khattâb yang mengetahui kedatangan Abu Sufyân berteriak lantang “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyân yang tak tahu diri dan tak pernah menepati janjinya. Ijinkan aku memenggal leher orang ini!” pinta Umar. Al-Abbâs dengan tegas menolak “tak boleh, saya yang menjamin keselamatan Abu Sufyân”. Umar terus mendesak, hingga akhirnya al-Abbâs menggertak “seandainya ia (Abu Sufyân) dari Bani ‘Adi—kabilah Umar— niscaya kamu tak akan berbuat begitu”. Atau kisah tentang seorang pejuang Uhud yang bernama Quzmân bin Ila, yang menjawab sinis ketika mendengar jaminan sorga bagi yang hadir di perang Uhud “sorga apa?! Sumpah, aku ikut perang karena solidaritas kabilahku”.[13]
Kisah di atas bukan sekedar narasi datar mengenai peran dan posisi ras dalam kebudayaan bangsa Arab. Kelak, nalar politik rasial semacam itulah yang terus menerus diwariskan oleh para politikus Islam pasca khulafâ. Sehingga tak heran kalau hampir semua pengamat Islam politik bersepakat bahwa masa paling representatif untuk menggambarkan khilafah Islamiyah yang sah adalah masa khalifah yang empat. Sementara penguasa-penguasa setelahnya, hanya sebatas mendompleng popularitas Islam dengan memakai terma “khalifah” di awal gelarnya. Sejatinya, mereka tak mencerminkan khalifah yang sah jika mau jernih melihat sepak terjangnya. Dari mulai sistem syura’ –sebuah sistem ideal untuk menyingkirkan aristokrasi dan yang sejenis, namun tetap membutuhkan inovasi-inovasi baru mengingat konsepnya yang masih kabur— yang ditiadakan hingga kelaliman penguasa-penguasa itu ketika situasi memaksanya mempertahankan kekuasaan. Segala upaya akan mereka lakukan demi kekalnya kekuasaan, termasuk memakai nama Tuhan sekalipun. Mu’awiyah (w 78 H/680 M) misalnya, tanpa ragu mendeklarasikan diri sebagai “khalifah Allah” (wakil Tuhan, bukan lagi wakil Rasul) demi menyingkirkan lawan politiknya. Simak penegasan Mu’awiyah berikut “Ini bumi Allah… saya adalah khalifah (wakil) Allah, apa yang aku ambil alih maka menjadi milikku dan apa yang aku biarkan maka hak kalian”. Ungkapan serupa pernah keluar dari mulut Abu Jakfar al-Manshur (w 775 M), penguasa dinasti Abbasiah ke II, “Wahai sekalian manusia, kami adalah pemimpin kalian. Kami menjadikan hukum Allah sebagai peraturan, maka kami adalah wakil-wakil Allah di muka bumi”.[14]
Potret mengenai kentalnya tribalisme Arab semakin mempertegas kejeniusan Nabi Saw. tatkala mengeluarkan kebijakan mu’akha’ (pertalian saudara) antara Muhajirin (pendatang) dengan Anshâr (pribumi) sesampainya di kota Madinah. Setidaknya nalar tribalisme Arab teredam dalam kurun waktu sekitar 40 tahun lebih. Kejeniusan siasat Nabi yang paling spektakuler adalah perdamaian dua kabilah Aush dan Khazraj yang sudah bermusuhan sejak puluhan tahun di Madinah. Sampai-sampai kegemilangan karir politik Rasul disinyalir banyak kalangan tak akan mungkin terulang. Arab yang awalnya hanya mengenal doktrin kekabilahan, akhirnya konstruk nalar mereka bergeser menuju “ummah” (bangsa), sehingga relasi antar mereka tak lagi dimonopoli oleh status hubungan darah dan ras, tapi penekanannya lebih pada kepentingan bersama untuk menciptakan stabilitas negara bangsa yang membebaskan masyarakatnya melaksanakan ritus dan tradisi keagamaan masing-masing.
- Nalar materialistik Arab-Islam
Banyak orang mengira bahwa perlawanan, permusuhan serta perlakuan diskriminatif yang dilakukan bangsa Quraisy dan musyrikin Mekkah terhadap Rasul dan para Sahabatnya sebagai perlawanan agamis semata. Yang hadir dalam ruang imajiner pembaca sejarah adalah kaum Quraisy merasa dilecehkan dengan datangnya agama baru, Islam, yang secara sporadis [dianggap] menghina berhala-berhala yang mereka sembah selama ratusan tahun. Asumsi semacam ini tak sepenuhnya benar, ketika kita secara cermat memperhatikan sosio-kultural bangsa Arab Mekah masa itu. Mungkin logika paling sederhana begini: kenyataannya, orang-orang yang paling memusuhi agama baru (Islam) adalah kalangan borjuis yang bergelimang harta. Benarkah kalangan elit semacam itu tak memiliki tendensi lain selain kecemburuan mereka terhadap tuhan-tuhan yang disembahnya?
Berhala yang disembah dalam budaya Arab jahiliyah sejatinya tak memiliki “kesakralan” layaknya Allah Swt. dalam doktrin agama Islam. Berhala-berhala itu hanya dijadikan simbol sakral yang akan mendatangkan keuntungan materi belaka. Mekkah pada masa itu menjadi pusat berkumpulnya seluruh kabilah Arab untuk melaksanakan ritual haji—dalam arti haji ala Arab jahiliyah— setahun sekali. Momentum semacam itu, tentunya sangat menguntungkan bagi pribumi dan pendatang yang melakukan transaksi jual-beli. Pasar itu kemudian terkenal dengan “suq ukâdz” yang tak hanya memamerkan barang-barang tapi juga menjadi ajang bergengsi adu kepiawaian bersyair. Selain itu, kota Mekkah diuntungkan secara geografis karena menjadi semacam “terminal dagang” antara pedagang Syam, Yaman, dan Irak serta kawasan sekitarnya.
Berangkat dari kondisi sosio-kultural seperti itu, maka sekecil apapun bentuk pelecehan terhadap berhala-berhala bisa berimplikasi pada kerugian materiil yang mengancam stabilitas ekonomi Arab jahiliyah. Maka tak usah heran, bila ternyata perlawan paling keras terhadap datangnya Islam bukan datang dari agamawan tapi dari kalangan borjuis. Meski, gejala semacam ini tak terekspos secara vulgar dalam rekam sejarah tapi setidaknya al-Tabarî dalam Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk-nya pernah menulis pengakuan lugu seorang khalifah Umawiyah, Abdul Mâlik bin Marwan, ketika ditanya mengenai faktor utama penolakan Quraisy dan musyrikin Mekkah atas dakwah Nabi. Di sana Abdul Malik berargumen bahwa memang ekonomi menjadi faktor utama perlawanan itu.[15]
Kesadaran nalar materialistik Arab jahiliyah itu pula yang membantu Rasul—sebagai pemimpin kota Madinah— untuk mengeluarkan dekrit perang terhadap bangsanya sendiri. Kecerdikan taktik perang Rasul teruji di sini, Rasul berinisiatif mencegat kawanan pedagang Mekkah yang pulang dari Syam untuk melumpuhkan perekonomian penduduk kota Mekkah. Dengan demikian, secara perlahan mereka akan bertekuk lutut-menyerah. Prediksi Rasul terbukti, setelah sekitar 7 penyerangan pada kafilah yang mencoba melintasi perbatasan Madinah dilancarkan, akhirnya bangsa Quraisy mengirim utusan untuk meminta damai dengan Nabi. Tak ayal, ghanimah (harta rampasan perang) kaum musliminpun menumpuk. Kaum muslimin yang dirampas hartanya saat mereka hijrah ke Madinah kembali bisa menikmatinya, sehingga kondisi ekonomi semacam itu membantu lancarnya dakwah Islam.
Hanya saja dalam perkembangannya, ghanimah yang di masa Nabi Saw. dipandang sebagai salah satu perangkat dakwah, beralih fungsi menjadi target utama bagi sebagian kaum Muslimin, terutama orang-orang yang baru masuk Islam dan minim pemahaman keagamaannya. Bahkan riak-riak inklinasi ke arah sana sudah mulai tercium sejak masa Nabi Saw. sekalipun. Suatu waktu, sekelompok orang yang mendaku Muslim melintasi perkampungan Bani Sulaim. Di sana, mereka bertemu dengan seorang pengembala kambing. Si pengembala mengucap salam pada sekelompok orang itu, anehnya orang-orang itu malah menuduhnya sebagai “taqiyyah” (tipu muslihat) saja. Gerombolan orang yang mendaku Muslim itu kemudian membunuhnya dan merampas kambing-kambing yang dikembalanya atas dasar harta rampasan perang. Pasca kasus ini kemudian turun (QS. An-Nisa’ ayat 94), sebagai peringatan.[16]
Inklinasi politik materialistik juga kental mewarnai bentangan sejarah Islam awal. Semisal saat Nabi dan Sahabat bergegas keluar menuju Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah pertama kali paska hijrah. Sebagian bangsa Arab Madinah menolak untuk keluar bersama Nabi dengan alasan sibuk urusan keluarga. Namun ketika menyaksikan Nabi kembali ke Madinah dengan selamat dan membawa ghanimah, orang-orang itu terpancing untuk ikut ke perang Khaibâr demi satu tujuan, ghanimah. Kasus ini kemudian disinggung dalam (QS. Alfath, ayat 11/15-21).
Begitulah “kuasa ghanimah” cukup dominan mewarnai dalam setiap peperangan yang dihadiri (ghazwah) maupun yang tidak dihadiri (sarîyyah) oleh Rasul Saw. Ia juga memiliki peran sebagai pemantik jihad dalam nalar Islam politik di samping ideologi keimanan tentunya. Sebab ketika bangsa Arab melihat kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh umat Islam, secara tak langsung akan menarik perhatian orang sekitarnya untuk ikut bergabung. Mereka kemudian beramai menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad Saw. Akibatnya, peleburan antara yang benar-benar masuk Islam secara serius dengan yang opurtunis, sulit dibedakan.[17] Dari sini lahir benih-benih kepentingan materialistik bangsa Arab.
Lantas, kita harus sadar bahwa setiap peperangan memiliki konsekuensi negatif, bahkan saat menang sekalipun. Akan berbeda corak antara mereka yang masuk Islam atas kemauan hati dengan mereka yang takut pada ketajaman pedang (terpaksa). Perpecahan dan perbedaan pendapat di kemudian hari sudah pasti terjadi. Di masa Nabi Saw. dan khulafa’ barangkali perpecahan itu sanggup diredam karena beberapa faktor, namun setelah itu nalar-nalar laten bangsa Arab—seperti ghanimah (baca: materialistik) misalnya— akan menggugus ke permukaan. Kenyataan ini semakin diperkuat oleh fakta sejarah bahwa manajemen ekonomi yang berkembang di masa khulafâ sepenuhnya menggantungkan devisa negara pada pemasukan yang diambil dari non-Muslim. Kaburnya manajemen ekomoni dalam negara bangsa yang mereka bangun, seakan meyumbat nalar kreatif mereka untuk tidak bergantung hanya pada harta rampasan (meliputi jizyah dan fai’i).[18] Paradigma semacam itu semakin membangkitkan syahwat kekuasaan dan imperialisme. Sehingga futuhât (penaklukkan-penaklukkan) Islam semakin gencar dilakukan oleh dinasti-dinasti yang berkuasa.[19]
- Nalar ideologis politik Arab-Islam
Di atas, penulis telah menyinggung mengenai ideologisasi kepentingan politik. Di sana nampak bahwa masing-masing Dinasti mencoba menyerap doktrin-doktrin keagamaan untuk kelanggengan kekuasaannya. Intrik-intrik ideologis semacam itu cenderung bersifat dogmatis dan jauh dari logika jernih. Teori ini sangat masyhur sejak jaman Aristoteles hingga kini.[20] Israel yang menduduki tanah Palestina secara paksa menyandarkan intrik politisnya pada sebuah dogma tentang tanah yang dijanjikan, sebagaimana para Mullah berhasil melakukan revolusi di Iran pada (1979 M) dengan dogma kemunculan al-Mahdi al-Muntadzar. Terkadang memang hal-hal absurd membuat sebuah bangsa bangkit.
Dalam lembaran berikut, penulis akan mencoba menghadirkan fakta ideologisasi nalar Islam politik paska khalifah yang empat. Di sana, kita akan menemukan korelasi tak terbaca antara fuqaha’ dengan penguasa dalam membentuk konstruk politik publik. Dinasti Umawiyah misalnya, selain menjadikan takdir Tuhan sebagai ideologi negara, mereka juga menjadikan jasa para fuqaha’ agar penulisan hadis-hadis jihad lebih semarak lagi. Kebijakan ini dianggap perlu, mengingat batas teritorial ibu kota Damaskus yang acapkali diserang secara frontal oleh tentara Byzantium Romawi. Penulisan hadis-hadis jihad secara masif ternyata ampuh untuk menjaga integritas dan stabiitas negara.[21]
Di samping itu, mereka kerapkali mengekploitasi fuqaha’ yang pro-pemerintah agar mengganti “tahun fitnah” (‘am al-fitnah)—seperti dikenal dalam penyebutan kelompok oposisi anti-dinasti Umawiyah yang rasial— dengan “tahun bersama-bersatu” (‘am al-jamâ’ah)[22]. Kelak atsâr (peninggalan sahabat dan tabiin) mengenai ‘am al-jamaah banyak kita jumpai terutama dalam doktrin Sunni kawasan Syam.[23]
Begitu juga dengan Abbasiyah, dengan dibantu para yuris yang hidup di masa itu Abbasiyah bisa memperkuat stabilitas dan persatuan rakyatnya agar terus loyal. Al-Mawardi (364 H ) yang kebetulan lahir di Bashrah, sebuah kawasan dekat ibu kota Abbasiyah, menulis karya kanoniknya “Al-Ahkâm al-Sultâniyah” dengan muatan ideologis yang sedikit-banyak berimbas positif bagi negaranya. Dengan menghadirkan hadist-hadist tentang keutamaan suku Qureisy, al-Mawardi menjadikan suku Qureisy sebagai syarat mutlak khalifah Islam yang sah.[24] Ia juga tak memberi ruang sedikitpun untuk berdirinya pemerintahan otonomi di bawah Abbasiyah.[25] Sikap pro-pemerintah Abbasiyah yang diperagakan oleh al-Mawardi mendapat kecaman dari al-Juwaini (419 H) yang notabene hidup di bumi pemerintah otonom, Saljukiyah. Ia merasa tersinggung dan mencoba beradu argumen hingga sampai pada kesimpulan bahwa imam atau khalifah dalam Islam tak selamanya harus berasal dari bangsa Qureisy.[26] Baginya, selain hadis tersebut bersifat dzanny dan tidak sampai pada derajat mutawatir, seorang pemimpin dari budak hitam yang adil lebih baik dari pemimpin yang berasal dari bangsa Quraisy yang despotis.[27] Ia bahkan tak segan mengatakan bahwa khalifah yang lalim harus segera dicopot.[28] Pendapat ini kemudian banyak diamini oleh para fuqaha’ (yuris) yang datang setelahnya, semisal Seikh Mahmoud Syaltut,[29] karena dipandang lebih humanis. Dari sini, saya berasumsi bahwa Hizbut Tahrîr (HT) ketika mengatakan bahwa “bai’at khalifah sampai mati” hanya mengada-ada. Mereka menggeneralisir bai’at Sahabat pada Nabi sebagai keputusan hukum yang harus dilanjutkan oleh umatnya. Padahal di sini kasus dan tokohnya berbeda; Nabi ma’shum (terlindung dari dosa) sementara pemimpin-pemimpin itu tidak.
Epilog
Sengaja penulis hadirkan fakta historis mengenai beragam corak Islam politik, agar pembaca bisa menyaksikan secara imajinif bahwa idealisme Islam, sebagai agama yang memiliki nilai-nilai etis universal, seringkali dipecundangi kepentingan politik tertentu. Selain itu, Qur’an memang tak pernah men-design konstruk negara secara baku, agar manusia bisa inovatif untuk mencapai maslahat dan merengkuh kebahagiaannya. Karenanya, struktur ketatanegaraan dan model politik bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi dan perbaikan sesuai ruang dan waktu.[30] Harus kita akui bahwa sistem demokrasi— sebagai sistem yang dianut oleh mayoritas negara di dunia— sedikit banyak telah membantu kaum muslimin kontemporer untuk mengenal syura seperti disinyalir Qur’an, walaupun masih ada yang merasa risih karena sistem ini dianggap matang di Barat. Demokrasi, bagaimanapun prestisiusnya, masih memerlukan semacam “pribumisasi”, dalam istilah Gus Dur, sehingga bisa sesuai dengan konteks.
Pribumisasi sistem sebenarnya sudah mulai digelar sejak ashru al-nahdhah (masa kebangkitan Islam) yang dipelopori Abdouh, ia menolak secara tegas negara agama, karena baginya agama hanya berfungsi sebagai petunjuk sementara penguasa harus sepenuhnya dipilih oleh rakyat sipil sekaligus mereka berhak mencopotnya.[31] Meski, saat itu dinasti Ottoman masih ada, tapi Abdouh tak segan untuk mengkritik pedas despotisme para penguasa Ottoman. Formulasi nilai-nilai Islami dan madani di era ini adalah sebuah keniscayaan. Bahkan teks-teks keagamaan yang dahulunya dikukuhi secara ‘telanjang’ oleh para yuris Islam, harus mulai didialektikakan dengan realitas dan modernitas. Sehingga nilai-nilai luhur Qur’an bisa terus dinikmati oleh pengagumnya. Lebih lanjut, kita harus sadar bahwa teks-teks keagamaan sejatinya tak hadir dari ruang kosong, ia memiliki kesejarahannya sendiri (tarîkh tasyrî). Perihal jizyah (pajak) yang pernah diwajibkan atas ahlu dzimmah (non-muslim yang hidup seatap dengan muslim) misalnya, sulit untuk kita praktekkan di masa kini apabila melihat kronologi sejarahnya. Praktek jizyah berlaku saat non-muslim menolak musyarakah (bekerja sama) membangun negara dan mempertahankan integritas dan stabilitasnya.[32]
Contoh lainnya, terma “dar al-Islam” dan “dar-alkufr”. Kedua terma ini sudah tidak layak dipergunakan karena situasi sosio-politik yang seutuhnya berbeda. Adanya jaringan ekonomi internasional, perusahaan-perusahaan multi-nasional, media yang 'bejibun', dan internet, tak memungkinkan suatu negara mengisolasi diri. Kalau di Amerika terdapat 5 juta muslim dan di Eropa 10 juta muslim, apakah masih pantas kita sebut "dunia Islam" sebagai lawan "Barat"?[33] Dikotomi seperti kita jumpai di literatur klasik perlu direvisi agar menemukan identitasnya kembali. Bahkan jika kita mau membuka cakrawala pengetahuan lebih transparan dan tanpa fanatisme madzhab, sebenarnya ijtihad ulama klasik sudah ada yang mengarah ke sana. Dalam literatur fiqh madzhab Hanafi dan Zaidiyah dapat kita temukan bahwa ketika seorang muslim menemukan rasa aman dan bebas melaksanakan ritual ibadahnya, maka saat itu pula tempat itu disebut “dar al-Islam” walaupun pemimpinnya non-muslim. Lebih lanjut, seikh Abdul Wahhâb Khallâf menegaskan “Yang menjadi pijakan bukan status agama (muslim atau non-muslim), tapi apakah aman atau tidak.”[34] Upaya dialektis teks keagamaan dengan realitas kontemporer seperti sampel-sampel di atas tak boleh dipahami sebagai pengkebirian agama. Allahu a’lam.
[1] Bassam Tibi, Islam Between Culture and Politics, (Palgrave, New York, 2001, h. 8)
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan, (LP3Es, Jakarta, cet I, 1985, h. 5)
[3] Bassam Tibi, Islam and Modern Europan Ideologies, dalam sebuah kompilasi makalah bertajuk “Islam Critical Concepts in Sociology”, (Routledge, London, 2003, h. 122)
[4] Burhan Ghalyoun, Naq al-Siyasah al-Dawlah wa al-Dîn, (al-Mu’assasat al-‘Arabîyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, Beirut, cet I, 1991, h. 126-129)
[5] Ridwan Assayed, al-Jama’ah wa al-Mujtama’ wa al-Dawlah. (Dar al-Kitab al-Araby, Libanon, cet II, 2007, hal. 386)
[6] Hadi al-Alawy, Fushûl Min Tarîkhi al-Islam al-Siyâsi, (Markaz al-Abhâst wa al-Dirâsât al-Isytirakiyah fi al-Alam al-Araby, Nicosia-Cyprus, cet II, 1999, h. 6)
[7] Ridwan Assayed, Op cit, hal. 24-26
[8] ‘Abid al-Jabiry, Al-Aql al-Siyâsi al-Araby, (Markaz Dirâsât al-Wahdah al-Arabiyah, Beirut, cet III, 1995, h. 59)
[9] Ridwan Assayed, Op cit, h. 30
[10] Seorang ilmuwan dan politikus Muslim asal Palestina yang banyak menulis karya tentang sejarah dan tafsir, ia termasuk seorang mufassir yang berusaha menginterpretasi Qur’an melalui studi asbab al-nuzûl (kronologi ayat).
[11] ‘Izzat Darwazah, Sirat al-Rasûl Shuwarun Muqtabasah min al-Qur’an, (Mansyurât al-Maktabah al-Ashriyah, Beirut, Vol I, h. 273-274)
[12] Ada banyak teori mengenai tempat asal kedatangan Islam, para pembawa, dan waktu kedatangannya. Lebih lanjut baca: Azyumardi Azra “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVII”, (Mizan, cet III, 1995, h. 23-58)
[13] ‘Abid al-Jabiri, Op cit, h. 97
[14] Muhamad Sa’ed al-Asymawi, al-Islam al-Siyasi, (Muassasat al-Intisyar al-Araby, Beirut, cet V, 2004, h. 71)
[15] ‘Abid al-Jabiri, Op cit, h. 99-100
[16] Ibid, h. 113
[17] Ibid, h. 121
[18] Ridwan al-Sayed, Op cit, h. 366
[19] Sepintas futuhât Islamiyah itu menampilkan potret positif mengenai imperium Islam yang semakin luas secara demografis. Tapi di sisi lain, Islam sering dijadikan alat sebagai perluasan kekuasaan demi mendapat harta yang melimpah bagi penguasa. Maka tak jarang kalau ada seseorang yang menyatakan diri masuk Islam dari bangsa yang ditaklukkan, tetap saja diwajibkan membayar jizyah.
[20] ‘Abid al-Jabiri, Op cit, h. 50
[21] Ridwan al-Sayyed, Op cit, 209-216
[22] Dari hadist atau astâr politis mengenai urgensi “al-jama’ah” itu, dinasti Umawiyah diuntungkan ketika harus mengumpulkan massa untuk memperkokoh kekuasaan atau melibas lawan-lawan politiknya. Bahkan mereka tanpa segan memakai terma “al-jamaah” untuk menginterpretasi sebuah hadist tendensius yang menyebut bahwa umat Islam akan terbagi ke dalam 73 golongan dan yang akan selamat hanya satu: mereka yang tak memisahkan diri dari al-jamaah. Gara-gara hadist tendensius ini, setiap madzhab Islam saling mendaku sebagai kelompok yang paling benar. Meski “satu-satu kelompok selamat” itu masih dabateble akibat ambivalensi riwayat hadist. Lebih jelas, baca ulasan panjang lebar: Abu Ishaq al-Syatibi, al-I’tishâm, (Maktabah Usrah, Vol II, 2009, edit: Muhamad Rasyid Ridla, hal. 163-230)
[23] Ibid, 217
[24] Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah wa al-Wilâyât al-Diniyah, (Dar Ibnu Qutaibah, Kuwait, cet I, 1989, h. 5-9)
[25] Ibid, h. 10
[26] Al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi Tiyast al-Dzulam, (Dar al-Da’wah, Alexandria, h. 63)
[27] Ibid, h. 76
[28] Ibid, h. 76
[29] Mahmoud Syaltut, Al-Islam Aqîdatan wa Syariatan, (Dar al-Shorouk, Kairo, cet XVIII, 2001, h. 548)
[30] Syafii Maarif, Op cit, h. 18
[31] Muhammad Abdouh, al-A’mâl al-Kâmilah, (Dar al-Shorouk, Kairo, cet II, 2009, h. 106-107 edisi Politik)
[32] Salim al-Awwa, Fi al-Nidzâm al-Siyasi li al-Dawlah al-Islamiyah, (Dar al-Shorouk, Kairo, cet III, 2008, h. 251)
[33] Carl W. Ernst, Following Muhammad; Rethinking Islam in The Contemporary World, (William R. Kenan Jr. Fund of The University of North Carolina Press, 2003, hal. 4)
[34] Fahmi Huwaidi, Muwâtinûn La Dzimmiyûn, (Dar al-Shorouk, Kairo, cet III, 1999, h. 112)
writer : Abdul Mun'im Kholil (Mahasiswa Al-Azhar Cairo dari Bangkalan Madura)
Tag :
Artikel
0 Komentar untuk "Nalar Islam Politik; Tinjauan Geneologis Historis"