Masih ingatkah dengan cerita Ken Arok, seorang pengawal Raja Tunggul Ametung (istilah sekarang paspampres), lalu tak disangka menjadi seorang raja setelah "menikung" raja karena alasan mencintai sang permaisuri Ken Dedes. Alkisah, Ken Arok dengan siasat dan strateginya, memimjamkan keris empu gandring pada kawannya Kebo Ijo dengan dalih keris itu manjadi kepemilikan kebo Ijo, dengan senang Kebo Ijo memamerkan kepada khalayak umum. Malam-malam Ken Arok mencuri kembali keris yang berada di tangan kawannya itu, lalu digunakan untuk menikam sang raja.
Ken Dedes, istri raja mengetahui kejadian itu tapi ia bungkam karena ia menaruh hati juga kepada Ken Arok yang gagah dan pemberani itu, lagipula ia sebenarnya tidak suka sama suaminya karena ia dipaksa menikah dengan suami, Raja Tunggal Ametung. Lalu Ken Arok menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuh raja karena keris yang berada di tubuh raja adalah keris kebo Ijo dan menghukuminya dengan hukuman mati. Akhirnya, Ken Arok didaulat menjadi Raja dengan memperistri Ken Dedes.
Sama seperti Ken Arok, Soeharto mantan presiden kita juga memiliki kisah yang sama dalam karirnya menjadi presiden, yaitu seorang jenderal pendiam tidak memihak manapun saat pendudukan PKI membludak, kawannya Jenderal Ahmad Yani lebih memlilih sebagai punggawa Soekarno, sementara ia tetap memilih di karir militernya.
Soeharto, dalam sejarahnya adalah anak seorang petani di Jogja Jawa Tengah, terlihat setiap harinya ia berada di sawah dengan teman-temannya sambil menggembala kerbau. Lalu ia masuk sekolah militer dan pada 5 Oktober ia resmi menjadi TNI dengan pangkat Kopral. Karir di militer melejit naik hingga menjadi Panglima Kopkamtib dengan pangkat Mayor Jenderal. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. The Smiling General, Julukan dari tokoh Internasional, memang tidak dikira bahwa ia akan menjadi presiden. banyak pengamat mengatakan bahwa sejarahnya pun menjadi mesin kejut bagi publik.
Mesin kejut diistilahkan seolah-olah tidak ada perencanan sebelumnya atau semuanya berjalan sesuai takdirnya, tetapi saja ia diibaratkan seperti seorang yang muncul tiba-tiba saat konflik berkecamuk, orang itu datang untuk mendamaikan kedua pihak, dan tidak menyangka orang itu dari mana datangnya, siapakah ia, dan berasal darimana ?
Bila dianalogikan dengan kondisi riil sekarang ini, menjelang pilkada DKI Jakarta 2017, sebelum pendaftaran calon gubernur di KPU, banyak nama-nama calon berhamburan mulai dari Sipil, Purnawirawan TNI, Insinyur, Birokrat, Negarawan, bahkan kader partaipun semua muncul ingin merebut kursi gubernur dari koh Ahok, Sang Petahana Desainan. Nama mereka gencar melakukan sosialisasi mengajukan dirinya ke masyarakat bahwa dirinya ingin menjadi gubernur, mencari daya magnetik dengan gaya blusukan ala Jokowi.
Saat menjelang pendaftaran nama-nama mereka satu-persatu berguguran bak musim semi. Tapi apa, politik secara datar tidak dapat diprediksi, bahkan pada detik terakhir pendaftaran muncul salah seorang calon yang tidak disangka publik, Agus Harimurti Yudhoyono, Sang Patriotik putra presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono.
Dikabarkan pada tanggal 22 September ia ditawarkan oleh tiga partai untuk dicalonkan gubernur saat itu ia berada di Australia. Agus sempat memikirkan hal itu, tapi sebagai militer yang selalu siap dalam keadaan apapun, ia setujui itu dan tanggal 23 September terbang ke tanah air.
Analogi Agus dengan Ken Arok dan Soeharto bukan ia akan menjadi seperti mereka yakni raja dan presiden. Tetapi hal yang tidak disangka adalah wajar bila keadaan yang harus menuntut. Ken Arok seorang pengawal akhirnya jadi raja, Soeharto yang murah senyum dan pendiam tiba-tiba bisa mengambil alih kepresidenan, hingga jadi presiden. Dan Agus, tidak disangka bahkan sebagian masyarakat tidak tahu siapa dia, termasuk penulis ini, tiba-tiba dicalonkan sebagai calon gubernur berpasangan dengan Sylviana Murni, sang Birokrat lama di DKI Jakarta.
Kendati memiliki daya kejut yang sama namun jauh berbeda dari sisi niat dan tujuan dalam konteks meraih kekuasaan. Agus tidak memiliki karakter berdarah dingin yang dengan tega menumpahkan darah saudara-saudara sebangsanya. Hal ini kembali kepada niat dan tujuan dalam merebut kekuasaan.
Fenomena ini biasanya menimbulkan asumsi bahwa keterkejutan ini berdampak terhadap kesuksesannya sebagai gubernur DKI Jakarta, bila analogi ini diamini oleh Mediang Soeharto dan Ken Arok.
Semua pasti terbukti. Yakin.! setelah Agus ditetapkan sebagai calon gubernur, ia langsung menancapkan gas melakukan orasi politik sebagai alarm perang kampanye damai dimulai. Agus berpidato dengan semangat berapi-api, teriakan gemuruh pendukungnya menggelagar, performance Agus luar biasa, khasnya motivator politik. Andaikan videonya ditonton bisa mempengaruhi enam juta masyarakat Jakarta.
Maka hal ini juga seharusnya menjadi sebuah "angin segar" bagi rakyat yang punya hasrat dalam pilgub damai. Melihat niat dan ketulusan Agus Yudhoyono adalah salah satu sifat dari ksatria yang patut di contoh. Setiap pengorbanan pastilah mendapatkan efek positif dan negatif. Tapi positiflah yang diharapkan kita semua.
Frachman, Jaringan Santri Progresif
Tag :
Artikel
0 Komentar untuk "Agus Yudhoyono, Antara Ken Arok dan Soeharto Menjadi Mesin Kejut Publik"