Tarik ulur dalam memperebutkan label Ahlussunnah Wal Jama'ah (di Indonesia kemudian disingkat menjadi "Aswaja" atau "Sunni" seperti umum dipakai di dunia Arab dan orientalis) sebagai "sekte yang selamat" dalam sebuah hadis Nabi Saw., sejatinya sudah berlangsung semenjak Islam datang. Meski ketika ditelusuri, Aswaja dekade ini hanya mengerucut pada 3 sekte besar di dunia Islam. Karena ternyata yang mau secara bangga dan terang-terangan mengaku sebagai Aswaja hanya kaum teolog Asy'ari, Maturidi, dan Taimiyin (pengikut Ibn Taimiyah-Ahmad bin Hambal).
Sementara Syiah lebih suka disebut sebagai Ahlul Bait, Muktazilah lebih nyaman dengan sebutan Ahlu At-Tauhid wal Adl, dan Khawarij lebih memilih nama Ahlu As-Salam dst. Sehingga internal dunia Islam ketika mendengar dan membaca terma "Aswaja" akan terlintas ketiga sekte di atas. Para orientalis pun juga demikian.[1] Kenyataan ini memancing beragam respon dari masing-masing 3 kelompok di atas (untuk lebih memudahkan kajian ini lebih baik kita rampingkan lagi menjadi 2 kelompok saja dengan menjadikan Asy'ari-Maturidi di satu barisan dan Taimiyin di barisan lainnya).
Bukan tanpa alasan bila kita memasukkan Asy'ari-Maturidi dalam satu gerbong yang sama, mengingat perbedaan antara keduanya tak menyentuh inti teologi yang dikembangan kedua aliran ini. Ulama mengindentifikasi bahwa perbedaan keduanya hanya pada 13 masalah teologis yang bersifat parsial: 3 permasalah maknawi (terminologis) dan 10 sisanya bersifat etimologis.[2]
Tradisi yang diwariskan oleh Nabi Saw. memang bersifat sangat umum dan karakternya multi-tafsir. Ketika ditanya tentang "siapa kelompok yang selamat?" Nabi Saw. menjawab singkat "Mereka yang berpegang teguh pada ajaranku dan para sahabatku", dalam riwayat yang lain "Mereka adalah kelompok mayoritas umat". Semua yang disebutkan oleh Nabi Saw. hanya sebentuk penanda yang selalu menerima interpretasi dari masa ke masa, sehingga penafsiran personifikatif yang telah saya sebutkan tak mesti tepat. Saya mengerucutkan pada 3 sekte besar itu semata-mata bersandar pada realitas di lapangan.
Tak ada yang meragukan bahwa Aswaja— dalam pengertian etimologis hadis Nabi Saw.— menjadi sebuah nama istimewa yang harum mewangi. Stigma sebagai representasi penerus sah "generesi terbaik" (kaum salaf) perlu dikonsepsi secara jernih sehingga tak menimbulkan kekacauan. Maka, kajian etimologis dan personifikatif mengenai Aswaja sudah tak memadahi. Yang tersisa dan paling memungkinkan adalah mengkaji Aswaja sebagai sebuah "konstruk metodologis", yang ketika dipakai oleh siapapun dan sekte apapun boleh kita sebut sebagai Aswaja dalam pengertian yang sebenarnya. Sementara karakter dasar Aswaja yang sudah disebutkan di buku-buku teologi cukup dijadikan faktor sekunder. Jika nantinya pembaca menemukan penyebutan sekte tertentu di makalah ini, itu semata-mata ingin mempermudah pemetaan Aswaja tanpa ada maksud mengklaim secara ceroboh.
Identifikasi Metodologis Aswaja
Aswaja menjadikan generasi terbaik (ulama salaf yang hidup di 3 abad pertama) sebagai cermin beragama dan mengimplementasikan pemahaman keagamaan mereka pada generasi yang datang setelahnya (khalaf). Meski harus disadari bahwa generasi terbaik ini tak akan pernah terulang.[3] Usaha meniru sedekat mungkin dengan tradisi dan cara beragama mereka hanya sebentuk upaya meniti jejak kaum shaleh yang dianjurkan oleh Rasul Saw. Kenyataannya—seperti diakui oleh DR. Abdul Halim Mahmud dan DR. Hasan As-Syafi'i— tak pernah ada yang benar-benar sanggup meniru persis dengan mereka.
Hal ini menjadi maklum karena setiap generasi memiliki corak kehidupannya sendiri dengan problematika keagamaan yang tidak sama. Maka dituntut mencari solusi yang tidak sama pula dengan tetap menjadikan metodologi kaum salaf sebagai pisau analisis. Sementara cara, logika dan bahasa yang dipakai tak bisa dipaksa untuk meniru salaf karena akan bermasalah dengan konteks. Maka nantinya, jangan heran tatkala melihat metamorfosa Aswaja yang tampil beragam namun dengan spirit yang sama: memperjuangkan nilai-nilai salaf shaleh dan berkomunikasi secara baik dengan modernitas.
Secara umum, Aswaja menjadikan 4 sumber pengambilan hukum keagamaan dari Al-Qur'an, hadis Nabi Saw., Ijma (konsensus ulama) dan qiyas (analogi). Ini kemudian mengeluarkan sekte yang mengurangi (seperti Muktazilah yang tidak mengakui Ijma' sebagai sumber hukum atau mazhab Hasyawiyah-Dzahiri yang mengingkari teori qiyas) atau menambah dan mengurangi (seperti Syiah yang memiliki sumber hukum Al-Qur'an, hadis dan ucapan para imam).
Keempat unsur di atas tak hanya dijadikan sumber hukum tapi juga sumber ideologi dan etika (bertasawuf). Karena bangunan agama Islam yang terdiri dari tiga unsur: iman, islam, dan ihsan memang tak bisa ditawar. Keimanan perspektif Aswaja harus merujuk secara langsung pada wahyu dan pembenaran akal sekaligus. Dominasi salah satunya tak bisa merepresentasikan Aswaja. Keduanya harus seimbang meski sulit diwujudkan. Sementara kasyf/ilham sebagai sumber lain yang diakui dalam doktrin sufi sebenarnya tak bisa disebut sebagai sumber yang idependen. Ilham sufi menegaskan fungsi wahyu dan bukan membawa ajaran baru seperti diasumsikan kalangan anti-sufi.[4]
Keseimbangan Akal dan Teks
Metodologi ulama salaf—sebagai presentasi Aswaja— terungkap dalam empat poin: pertama, menyeimbangkan akal dan teks. Keseimbangan yang dimaksud tak bisa diprosentase secara matematis 50-50, yang penting keseimbangan itu 50 persen ke atas. Kedua, tak berlebihan dalam melakukan takwil dengan tetap merelasikannya dengan kesepakatan gramatika bahasa yang dibakukan dan tak menerjang syariat. Ketiga, menerima semua dalil wahyu: Al-Qur'an, Ijma', hadis mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang/perawi dan tak mungkin berbohong), menolak hadis ahad (hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi) dalam teologi. Keempat, berpegang teguh pada syariat tanpa memutar balik furu' (cabang agama) menjadi induk/pokok agama.[5]
Jika kita mencoba menyejajarkan akal dan wahyu akan menemukan perdebatan sengit mengenai sifat Allah Swt. yang mengindikasikan keserupaan dengan makhluk (ayat atau hadis mutasyabihat). Di sinilah, titik paling menentukan siapa yang paling mendekati klaim Aswaja. Kemunculan sekte-sekte Islam yang nampak dialektis melahirkan konsekuensi dan ambisi tertentu yang tak memungkinkan keseimbangan akal-teks terpenuhi dalam tataran kasus tertentu. Belum lagi penangkapan pembaca terhadap teks memang tak sama.
Akhirnya, yang bisa dilakukan oleh pengkaji adalah mencoba mendekati sekte-sekte tersebut melalui kesadaran komunitas terhadap wahyu Tuhan,[6] dengan mencoba menyingkirkan terlebih dahulu klaim-klaim ulama yang terkesan metafisis dan ideologis seperti Ibn Asakir dalam Tabyin Kadzbi Al-Muftari[7]. Bagaimanapun, Ahlussunnah secara etimologis adalah sebuah "keluarga", yang memungkinkan relasi-relasi spesial yang diikat oleh sebuah bangunan metodologi dan kesepakatan tertentu. Tentu, tak sembarang memasukkan dan mengeluarkan sekte secara semena-mena.
Takwil dan Tafwidl sebagai Mazhab Salaf
Ayat mutasyabihat menjadi bola panas sekte-sekte Islam. Komunitas ulama salaf sendiri didominasi oleh konsep tafwidl (menyerahkan pemahaman sebenarnya hanya pada Allah tanpa berusaha mentakwil dan menafsirkan). Namun bukan berarti tak ada ulama salaf yang mentakwil seperti diklaim oleh Ibn Taimiyah dan penganjurnya. Al-Burhannya Az-Zarkasyi dan Al-Itqannya As-Suyuthi memberi kesaksian bahwa beberapa ulama salaf juga ada yang mentakwil seperti Ibn Abbas, Mujahid, Sufyan bin Uyainah,[8] Ali bin Abu Thalib, Ibn Mas'ud, imam Malik, Al-Auza'i dll.[9]
Menutup kemungkinan takwil ayat dan hadis mutasyabihat karena alasan meniru kaum salaf menjadi mentah. Terlebih dengan hadirnya kesaksian di atas. Kita mesti menegaskan bahwa takwil dan tafwidl adalah dua sikap yang pernah dipraktikkan oleh salaf. Tak ada alasan untuk menolak takwil dan mencukupkan diri pada tafwidl. Bahkan takwil menjadi sebuah keharusan dalam kondisi tertentu: di tengah derasnya informasi seperti saat ini pilihan metode takwil menjadi semacam alternatif untuk menjawab kegelisahan masyarakat muslim di hadapan mutasyabihat.[10] Atau saat dihadapkan pada teks yang dzanniy ad-dlilalah (petunjuk yang masih bersifat praduga).[11]
Memang Al-Ghazali dalam Iljam Al-Awam memberi secercah cahaya bahwa apapun alasannya, metode tafwidl lebih difavoritkan. Dia mengilustrasikan beberapa tahapan sikap salaf saat berinteraksi dengan ayat atau hadis mutasyabihat: tahap pertama, menyucikan Allah Swt. dari segala kemiripan dengan makhluk. Kedua, membenarkan dan mengimani apapun yang datang dariNya. Ketiga, mengakui keterbatasan dirinya untuk bisa benar-benar memahami yang datang dariNya. Keempat, diam diri. Kelima, menahan diri untuk tidak menyelami ayat mutasyabihat. Keenam, menutup pintu berpikir mengenai mutasyabihat. Ketujuh, berserah padaNya.[12] Bagi siapapun, tak dibenarkan membuka kajian ayat mutasyabihat di depan orang awan, bahkan seorang khatib masjid sekalipun. Dalam sebuah riwayat khalifah Umar bin Khattab pernah melempar batu pada seseorang yang bertanya mengenai mutasyabihat.[13]
Karakter Umum Aswaja
Islam meliputi akidah, syariat, dan etika-moral. Ulama Aswaja kemudian menyebar dalam masing-masing bidang keilmuan Islam. Ada yang konsentrasi membangun akidah yang sesuai dengan kaum salaf. Para teolog Aswaja ini kemudian menguraikan akidah kaum salaf hingga membentuk sebuah epistemologi ilmu yang utuh, dan di waktu yang sama mereka ikut berkonstribusi membentengi umat Islam dari ideologi destruktif yang berusaha menyelinap masuk.
Beberapa ulama mutaakhirin (yang muncul belakangan) seperti imam Ad-Dardiri (w. 1258 H) menyelidiki konsep teologi yang dibangun ulama-ulama sebelumnya hingga sampai pada kesimpulan bahwa yang paling mendekati kriteria metodologis di atas adalah mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) dalam syariat, sekte Asy'ari-Maturidi dalam akidah dan suluk sufi ala Al-Juneid dan Al-Ghazali.[14] Kemungkinan konsep Aswaja Nusantara mengadopsi pendapat ini. Meski belakangan Kiai Ahmad Shiddiq memperluas dengan menawarkan 3 karakter: At-Tawassuth (tidak ekstrem dan tidak memihak), Al-I'tidal (berlaku benar dan adil) At-Tawazun (seimbang).[15]
DR. Hasan Mahmud As-Syafi'i, yang aktif mengajar dan menulis buku teologi Asy'ari, tak mau meniru pendahulunya dan berupaya bersikap moderat. Dalam bukunya Al-Madkhal ila Ilmi Al-Kalam, beliau mencoba dengan sabar mencarikan format ideal Aswaja untuk masa kontemporer. Baginya, masing-masing sekte yang sudah disebutkan oleh mainstream, termasuk oleh Ad-Dardiri, mengalami pola berpikir yang tak sama dalam tiap generasinya.
Mazhab Asy'ari mengalami perubahan signifikan di masa Ibn Faurak Al-Asfihani (w. 406), As-Syahrastani (w. 548 H), dan imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H): dominasi akal pada masa ini lebih kentara[16] sebelum kemudian lahir Al-Amadi (w. 631 H) yang mencoba mereposisi akal-teks lebih proporsional kembali. Hal ini tak mengherankan, seorang teolog dituntut bisa berkomunikasi secara baik dengan anak zamannya. Maka menjadi logis ketika kajian teologi Asy'ari masa itu mulai memasukkan unsur filosofis. Dalam mazhab Maturidi juga demikian: tak sama antara satu genarasi dengan yang lainnya.
Bahkan saat mencoba mendekatkan masing-masing sekte pada metode yang berkembang di masa salaf, As-Syafi'i mendapat fakta mengejutkan bahwa mazhab Maturidi lebih dekat pada salaf. Disusul kemudian mazhab Asy'ari, Dzahiri Ibn Hazm, dan terakhir Hambali (termasuk Ibn Taimiyah) secara berurutan.[17] Itulah sekilas "keluarga besar Aswaja".
Namun demikian, DR. Said Faudah, teolog kenamaan abad ini, menolak secara tegas untuk memasukkan Ibn Taimiyah dan pengikutnya ke dalam keluarga Sunni. Menurutnya, terlalu berisiko untuk menyebut mereka sebagai bagian dari keluarga Aswaja, mengingat taksonomi tiga pilar tauhid yang digagasnya benar-benar berbeda dengan konsep salaf.[18] Konsekuensi mudahnya penyesatan, pembid'ahan dan pengkafiran dari taksonomi yang dilakukan Ibn Taimiyah membuat kriteria umum Aswaja sebagai sekte yang tak mudah melakukan stigma sesat pada lawan ideologisnya sedikit tercoreng.
Karakter Aswaja yang toleran, inklusif, adaptif, moderat dan tak serampangan menyalahkan harus dijadikan penunjang sebuah sekte tertentu masuk ke dalam barisan keluarga Aswaja. Budi luhur ini tak dapat ditawar karena sejatinya adalah kelanjutan sejarah kaum salaf. Netralitas Aswaja dari politik juga patut dijaga sehingga kepentingan politik yang pragmatis-parokial tak mempunyai ruang untuk menggepakkan sayapnya di sana.
Pengkafiran Atas Nama Aswaja
Demi menyempurnakan konsepsi Aswaja dan upaya menghadirkan kembali kesadaran dan nilai luhurnya, ada baiknya penulis menegaskan sebuah teladan yang terekam dalam sepak terjang ulama Sunni-Aswaja. Kekerasan dan teror pemikiran dalam keluarga Sunni secara umum tak pernah dibenarkan. Bahkan saat mereka didukung oleh pihak penguasa, semisal ketika dinasti Saljuk (1038-1157 M) berkuasa di Timur Islam, atau saat dinasti Murabithun (1056-1147 M) berkuasa di Barat Islam, atau saat Ayyubiyah (1174-1342 M) menguasai kawasan Syam dan Mesir.
Beberapa lembaga pendidikan yang secara resmi mengadopsi mazhab Sunni sebagai ideologi tak pernah mencekoki pelajarnya secara doktrinal: sebut saja Al-Azhar di Mesir, Qarawin di Maroko, Zaitunah di Tunisia, Darul Mustafa di Yaman, dan hampir semua pesantren di Indonesia. Kesesuaian teologi Asy'ari-Maturudi dengan tabiat manusia dan masyarakat muslim umumya menjadikan Aswaja diterima oleh mayoritas (As-Sawad Al-A'dzam). Mazhab Maturidi yang sedikit asing bagi warga Islam Indonesia sebenarnya berkembang pesat di kawasan Transaxonia, Turki, Afganistan, India dan sekitarnya. Tokoh-tokohnya sangat dipertimbangkan dalam dunia Islam: ada Khidir Bek, Thasy Kubri Zadah, Al-Hisyni, Al-Bayadi, dan yang sempat berinteraksi dengan ulama Al-Azhar adalah Al-Kautsari dan Mustafa Shabri.
Meski secara kuantitas pengikut Asy'ari-Maturidi sudah memenuhi salah satu kriteria umum Nabi Saw. sebagai kelompok mayoritas, tapi Aswaja tak lantas semena-mena dalam memberi label lawan ideologisnya. Pengkafiran dihindari sebisa mungkin, meskipun terkait induk agama (ushul). Karena seperti dideskripsikan oleh Al-Ghazali dalam Faishal At-Tafriqah induk agama sendiri masih menyimpan ushul dan furu' lagi di dalamnya. Induk agama hanya tiga: iman pada Allah Swt., pada RasulNya dan pada hari kiamat. Selain yang tiga ini adalah furu' kecuali kesepakatan kaum muslimin yang didukung oleh hadis mutawatir.[19]
Penutup
Bagi siapapun dan sekte apapun, terlalu angkuh untuk mengaku sebagai "sekte yang selamat" seperti disebut dalam hadis Nabi Saw. Yang bisa kita lakukan hanya upaya untuk mendekati sebisa mungkin kriteria yang telah disebutkan dalam beberapa hadis tersebut. Malah, DR. Abdul Halim Mahmud sedikit menyindir para sejarawan perbandingan agama klasik-modern yang memaksakan penafsiran literalis teks hadis bahwa sekte yang selamat hanya satu. Mengingat penyebutan angka 73 golongan tak sesuai dengan fakta di lapangan, yang ternyata sudah berkembang biak melampaui angka tersebut.[20]
Menurut saya, tak ada pendekatan yang paling memungkinkan untuk mendeskripsikan Aswaja kecuali melalui beberapa metode dan teori yang diwariskan oleh generasi terbaik. Kita tak usah bersibuk lagi dengan pemetaan 73 golongan yang disebut Nabi Saw. karena itu adalah bentuk kinayah (eufemisme) dari "sekian banyak sekte" yang sudah dan akan muncul paska wafatnya Nabi Saw.
Apapun nama sekte yang dipakai, bahkan "salafi" sekalipun, tak memberi pengaruh yang berarti bila ternyata metode pendekatan dan penerapan yang dipakai jauh dari yang digariskan salaf. Warisan tradisi generasi terbaik bukan semata klaim nama, klaim tokoh atau penampilan luar saja, tapi lebih pada sumber pengetahuan (masdar al-ma'rifah) dan metode (al-manhaj) yang selalu kontektual dan lintas masa itu. Ketika seseorang atau kelompok memakai dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut maka saat itulah gelar "Ahlussunnah wal Jama'ah" bisa disandang. Wallahu a'lam []
Daftar Pustaka:
Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, Warner Book, America, 1991
Hamad As-Sinan & Fauzi Al-Fanjari, Ahlussunnah Al-Asya'irah Syahadat Ulama' al-Ummah wa Adillatuhum, Dar Ad-Dliya' Li An-Nasyr, t. t. t.
Min Al-Aqidah Ila Ats-Tsaurah, Hasan Hanafi, Maktabah Madbuli, Kairo, Vol V
Al-Ghazali, Ar-Risalah Al-Ladunniyah, dalam Majmu'at Rasa'il Al-Ghazali, Dar Al-Imam As-Syatibi, Kairo, 2012, cet I
Hasan Mahmud As-Syafi'i, Al-Madkhal Ila Dirasat Ilmi Al-Kalam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1991, cet II
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, dalam Readings in Social Theory, ed. James Farganis, Mc Grew Hill, New York, 2004
Ibn Asakir, Tabyin Kadzbi Al-Muftari Fima Nussiba Ila Al-Asy'ari, ed. Zahid Al-Kautsari, Al-Maktabah Al-Azhariyah Li At-Turast, Kairo, 2010
As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, Dar As-Salam, Kairo, 2008, cet I, Vol II
Said Ramadlan Al-Bouti, Kubra Al-Yaqiniat Al-Kauniyat, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1997, cet VIII
Muhammad Rabi' Jauhari, Ta'wil As-Salaf li Sifhat Allah, Maktabah Al-Iman, kairo, 2013, cet I
Al-Ghazali, Iljam Al-Awam, dalam Majmu'at Rasa'il Al-Ghazali, Dar Al-Imam As-Syatibi, Kairo, 2012, cet I
Abdul Halim Mahmud, At-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam, Maktabah Al-Iman, Kairo, 2006
Lathifatul Khuluq, Kyai Haji Hasyim Asy'ari's Religious Thought and Political Activities 1871-1947 M, McGill Univ., 1997
Said Faudah, Ahlussunnah wa Al-Jama'ah, t. t. t.
Al-Ghazali, Faishal At-Tafriqah, dalam Majmu'at Rasa'il Al-Ghazali, Dar Al-Imam As-Syatibi, Kairo, 2010, cet I
[1] Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, Warner Book, America, 1991, h. 181
[2] Hamad As-Sinan & Fauzi Al-Fanjari, Ahlussunnah Al-Asya'irah Syahadat Ulama' al-Ummah wa Adillatuhum, Dar Ad-Dliya' Li An-Nasyr, t. t. t., h. 88
[3] Apalagi saat mereka saling membunuh untuk memperebutkan legalitas "sekte yang selamat", maka semua masuk neraka. (Lihat: Min Al-Aqidah Ila Ats-Tsaurah, Hasan Hanafi, Maktabah Madbuli, Kairo, Vol V, h. 399)
[4] Ilham merupakan pendalaman apa yang dijelaskan dalam wahyu; ilham merupakan penerimaan ilmu-ilmu ketuhanan yang tak bisa menciptakan syariat baru, ia merupakan kumpulan maklumat ketuhanan (ghaibiyyah) yang berfungsi untuk mempertegas kedudukan syariat baik lahiriah maupun batiniyahnya. Dalam leksikografi sufistik nafs kulliyyah selalu identik dengan lauh mahfudz, dan ilham adalah kemampuan ruhaniah manusia (nafs juz`iyyah) untuk menerima pendaran ilmu-ilmu yang tertulis di lauh mahfudz itu. (Lihat: Al-Ghazali, Ar-Risalah Al-Ladunniyah, dalam Majmu'at Rasa'il Al-Ghazali, Dar Al-Imam As-Syatibi, Kairo, 2012, cet I, h.465)
[5] Hasan Mahmud As-Syafi'i, Al-Madkhal Ila Dirasat Ilmi Al-Kalam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1991, cet II, h. 74
[6] Karena semangat keagamaan adalah kecenderungan yang diinspirasi oleh kelompok/komunitas di mana ia menjadi bagiannya (lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, dalam Readings in Social Theory, ed. James Farganis, Mc Grew Hill, New York, 2004, h. 77)
[7] Ibn Asakir, Tabyin Kadzbi Al-Muftari Fima Nussiba Ila Al-Asy'ari, ed. Zahid Al-Kautsari, Al-Maktabah Al-Azhariyah Li At-Turast, Kairo, 2010
[8] As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, Dar As-Salam, Kairo, 2008, cet I, Vol II, h. 541
[9] Hamad As-Sinan & Fauzi Al-Fanjari, Op cit, h. 157
[10] Said Ramadlan Al-Bouti, Kubra Al-Yaqiniat Al-Kauniyat, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1997, cet VIII, h. 138-139
[11] Muhammad Rabi' Jauhari, Ta'wil As-Salaf li Sifhat Allah, Maktabah Al-Iman, kairo, 2013, cet I, h. 23
[12] Al-Ghazali, Iljam Al-Awam, dalam Majmu'at Rasa'il Al-Ghazali, Dar Al-Imam As-Syatibi, Kairo, 2012, cet I, h. 585-586
[13] Abdul Halim Mahmud, At-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam, Maktabah Al-Iman, Kairo, 2006, h. 81
[14] Hamad As-Sinan & Fauzi Al-Fanjari, Op cit, 91-92
[15] Lathifatul Khuluq, Kyai Haji Hasyim Asy'ari's Religious Thought and Political Activities 1871-1947 M, McGill Univ., 1997, h. 41-42
[16] Hasan Mahmud As-Syafi'i, Op cit, h. 88
[17] Ibid, h. 73
[18] Said Faudah, Ahlussunnah wa Al-Jama'ah, t. t. t., h. 6
[19] Al-Ghazali, Faishal At-Tafriqah, dalam Majmu'at Rasa'il Al-Ghazali, Dar Al-Imam As-Syatibi, Kairo, 2010, cet I, 415
[20] Abdul Halim Mahmud, Op cit, h. 56-57
writer : Abdul Mun'im Kholil (Mahasiswa Al-Azhar Cairo dari Bangkalan Madura)
Tag :
Artikel
0 Komentar untuk "Menyegarkan Kembali Faham Ahlussunnah Wal Jama'ah"